Campur Sari

Rabu, 13 Februari 2013

Teknologi Mobil Listrik



Teknologi Mobil Listrik Adalah Teknologi Masa Depan

Teknologi mobil listrik adalah teknologi masa depan dan nantinya industri otomotif akan bermuara di sana. Hal itu berulang kali ditekankan oleh anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi dalam wawancaranya dengan Jafei B. Wuysang dari Warta Ekonomi. Namun, menurut Rinaldy, pemerintah sebaiknya tidak hanya tenggelam dalam euforia mobil listrik nasional, tetapi juga berusaha mempersiapkan infrastruktur yang memadai jika teknologi itu mulai diaplikasikan. Berikut petikan wawancara Jafei dengan Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia itu, belum lama ini.
Mengapa industri mobil listrik nasional seperti jalan di tempat?
Teknologi mobil listrik itu adalah teknologi masa depan. Saya yakin, ujung dari teknologi listrik itu adalah mesin listrik. Masalahnya, selama ini industri mobil diawali dengan combustion engine. Combustion engine adalah mesin yang menggunakan pembakaran. Dari pembakaran itu terjadi gerakan piston, lalu gerakan piston menggerakkan roda. Sehingga, itu yang berkembang. Jadi, kebutuhan akan minyak bumi makin besar.
Penemuan motor listrik itu sebenarnya sudah lama, tetapi penggunaannya untuk mobil baru akhir-akhir ini. Malah, untuk roda dua atau sepeda motor, sekarang telah ada beberapa daerah di Cina yang tidak memperbolehkan penggunaan sepeda motor berbahan bakar minyak. Jadi, perkembangan teknologi akan ke sana dan kita perlu mengantisipasi itu.
Cuma, begitu kita masuk ke pergantian dari bahan bakar minyak ke listrik, kebutuhan akan listrik akan menjadi berlipat ganda. Apalagi, di Indonesia kebutuhan listrik untuk rumah tangga masih besar. Sehingga, begitu dimasukkan kebutuhan untuk energi transportasi, butuh kesiapan dari sisi pembangkitan listrik. Ini perlu diantisipasi. Harus disiapkan dari sisi pembangkitan, kalau tidak, nanti lebih rumit
Jadi, infrastruktur kelistrikan kita belum memadai untuk mengakomodasi mobil listrik?
Belum. Masuknya mobil listrik dalam jumlah yang besar itu akan mengganggu perencanaan listrik dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Untuk kebutuhan listrik yang non-transportasi saja, pemerintah masih kewalahan.
Jadi, jika dilihat dari sisi penggunaan energi listrik yang lebih efisien dan lebih bersih, mobil listrik itu positif. Namun, dilihat dari sisi kesiapan pemerintah atau perusahaan listrik nasional, akan timbul masalah apabila pemerintah berusaha memenuhi kebutuhan itu dengan mengubah penggunaan dari minyak ke listrik secara besar-besaran untuk transportasi.
Oleh karena itu, Menteri BUMN yang sekarang mencanangkan itu tidak bisa hanya melihat dari aspek lingkungan untuk konversi dari BBM ke listrik di bidang transportasi. Harus ada perencanaan matang yang menggabungkannya dengan perencanaan pembangunan kelistrikan di Indonesia.
Tahun depan rencananya PT Pindad akan memproduksi 10.000 motor listrik untuk digunakan di mobil listrik. Apabila dilihat dari sisi kesiapan infrastruktur pendukungnya, bisa terkejar atau tidak?
Mungkin terkejar, tetapi harus diatur mengenai jam berapa baterai mobil listrik itu boleh di-charge. Beban puncak atau penggunaan listrik secara maksimum biasanya pada malam hari hingga pukul 24.00 dan setelah itu mulai turun. Maka, harus ada pengaturan agar charging baterai mobil listrik tidak dilakukan sewaktu beban puncak. Misalnya, hanya boleh diisi dari pukul 01.00 hingga 06.00 pagi atau dari pukul 15.00 hingga 18.00 sore. Itu tidak akan mengganggu. Jadi, kita menggunakan listrik untuk mobil pada saat di luar waktu beban puncak.
Jadi, nanti harus ada kerja sama antara tempat mobil itu di-charge dan perusahaan listrik. Harus ada pengaturan yang namanya load management. Kalau demikian, bisa.
 Menurut Anda, apakah program mobil listrik itu feasible?
Feasible, tetapi nanti jangan seperti program bahan bakar nabati/biofuel. Sudah dibentuk tim nasional, sudah dicanangkan oleh Presiden, sudah diberi dana, tetapi bagaimana langkahnya setelah bahan baku untuk biofuel jadi, tidak disiapkan. Jadi, jangan hanya memikirkan produksi mobilnya saja, tetapi harus dipikirkan juga  bagaimana nanti untuk menyuplai energi listriknya. Bagaimana load management-nya nanti. Mesti ada load management. Kalau tidak, akan mengganggu kebutuhan listrik untuk rumah dan industri.
 Saya melihat motor listrik sebenarnya lebih feasible untuk Indonesia, karena kalau  mobil itu biasanya perjalanannya jauh. Kita lihat saja percobaan Dahlan Iskan yang menggunakan mobil listrik ke kantor, tetapi ternyata di tengah jalan, di Jl. Sudirman, Jakarta, mobilnya mogok karena baterainya habis dan tidak bisa menjalankan mobilnya lagi. Ini hal yang tidak terlalu baik pada tahap-tahap awal seperti ini. Sementara itu, kalau sepeda motor jarang digunakan orang hingga berjam-jam. Sepeda motor juga lebih banyak digunakan untuk jarak pendek, sehingga kalau difokuskan ke sepeda motor, mungkin akan lebih positif.
Bagaimana dengan resistensi dari industri otomotif yang sudah mapan?
Iya, di situ ada persaingan bisnis kalau nanti semua mobil menggunakan listrik. Persaingan bisnisnya begini, banyak perusahaan otomotif sekarang menguasai teknologi combustion engine yang sudah bagus sekali dan menghabiskan banyak dana untuk mencapai itu. Sehingga, kalau kita cepat-cepat ke listrik, lalu dia belum siap untuk itu, pasti dia dirugikan.
Saya melihat Cina lebih maju di bidang motor listrik ini. Mungkin karena mereka tidak terlalu bermain di industri otomotif konvensional. Saya banyak melihat motor listrik digunakan di Cina. Kita di sini banyak juga mendapati produk motor listrik dari Cina. Di pusat perbelanjaan Mangga Dua, Jakarta, harga jualnya Rp5 juta, sementara dahulu Rp7 juta.
Kita harus berpikir positif. Jangan sampai prospek mobil listrik ini seperti program transportasi massal kita. Banyak industri otomotif yang tidak senang kalau kita membuat mass transportation, karena nanti orang akan berkurang membeli motor dan mobil. Kalau kita ikuti mereka terus, akhirnya seperti sekarang, kita tidak punya mass transportation, karena selalu terhambat.
Jadi, memang ada persaingan bisnis di sini. Bagi industri yang belum menguasai itu, dia akan mengatakan kendaraan listrik sulit berkembang dan punya banyak kelemahan. Memang ini punya kelemahan, terutama teknologi baterainya yang belum siap. Namun, negara-negara maju sekarang banyak yang mengeluarkan dana penelitian untuk menghasilkan baterai yang lebih efisien. Bahkan, dengan nanoteknologi, baterainya tidak perlu berukuran besar, bisa lebih kecil, tetapi dayanya besar.
Kalau dengan nanoteknologi, itu berhasil diciptakan, pembuatan mobil listrik jadi lebih gampang. Karena, kalau untuk motor listriknya, teknologinya sudah ada, tetapi teknologi baterai yang untuk mendampingi motor listrik yang belum siap. Namun, saya yakin akan ke sana.
Saya melihat mungkin untuk tahap-tahap awal akan digunakan kendaraan hibrid dahulu yang memakai listrik dan BBM juga. Jadi, saat mobil itu ada listriknya, dia digerakkan oleh listrik, dan ketika mobil itu memakai BBM, dia berkesempatan men-charge baterai untuk memperoleh tenaga listrik.
Pada tahap awal, mungkin kendaraan hibrid lebih efektif. Tidak langsung 100% ke listrik. Mobil yang dipakai Dahlan Iskan 100% listrik. Maka, begitu baterai habis, kendaraannya tidak bisa jalan. Namun, kalau kendaraan hibrid, begitu baterainya habis, kendaraan itu bisa jalan dengan bensin, dan pada saat dia jalan dengan bensin, dia berkesempatan men-charge baterai. Sebenarnya sudah banyak mobil hibrid seperti itu, cuma masih mahal harganya. Namun, kalau dihitung perbandingan efisiensinya, dalam jangka panjang, pemiliknya mungkin akan lebih diuntungkan karena walau harga mobilnya mahal, tetapi harga bahan bakarnya jauh lebih murah.
Bagaimana solusi untuk infrastruktur listrik yang belum memadai?
Saya belum tahu rencana pemerintah, apakah nanti mobil itu di-charge di rumah masing-masing atau pemerintah membuat suatu teknologi yang membuat mobil itu tidak bisa di-charge di rumah tetapi harus di-charge di pangkalan-pangkalan charger tersendiri.
Kalau nantinya boleh di-charge di rumah-rumah, harus diatur agar tidak di-charge di waktu malam. Karena, kalau malam hari, nanti beban puncaknya akan naik dan kebutuhan pembangkit listrik naik dan bisa menyebabkan terjadinya pemadaman listrik bergilir. Ini harus dibicarakan dengan PLN dan PLN harus dilibatkan. Tidak bisa sembarang men-charge baterai kapan saja dan di mana saja. Saya melihat permasalahannya bukan di sisi teknologinya, melainkan di kesiapan infrastruktur untuk charge baterainya. PLN harus tahu adanya penambahan beban listrik akibat dari produksi mobil listrik nanti.
Namun, saya mendukung program mobil listrik nasional karena program tersebut bagus. Indonesia harus mempersiapkan itu dengan baik, termasuk sisi industri mobilnya. Jangan kita nanti dijadikan pasar kendaraan listrik berteknologi dari Cina atau Taiwan. Mereka menjual, kita memakai saja. Kesiapan industri mobil listrik juga harus disiapkan karena itu adalah teknologi masa depan. Saya yakin nanti 100% mobil kita akan mobil listrik. Mesinnya akan mesin listrik. Tinggal nanti sumber listriknya dari matahari atau yang lain. Tidak ada keraguan untuk itu.

SISTEM RSBI



SISTEM RSBI DALAM UU DI KRITIK

Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dalam sistem pendidikan nasional menuai penolakan dari berbagai pihak karena disebut bertentangan dengan budaya pendidikan bangsa Indonesia. Salah satu pengkritik sistem ini adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru Daoed Joesoef.
"Saya menuntut supaya Pemerintah secepatnya meniadakan keberadaan RSBI Indonesia," katanya saat menjadi saksi ahli dalam persidangan uji materi Pasal 50 ayat (3) UU Nomor/2003 tentang Sisdiknas di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (15/5).
Menurut Daoed, ada beberapa alasan dalam model pembelajaran RSBI yang tidak sesuai UUD 1945. Pertama, mengenai penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Penggunaan bahasa asing atau bahasa Inggris telah melanggar konstitusi UUD 1945 yang mengukuhkan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia.
"Bukan menolak peningkatan mutu pendidikan ke internasional. Tetapi jika yang dilaksanakan dengan RSBI/SBI, pemerintah terlalu simplistis," tegas Daoed. Ia pun melanjutkan, ada suatu kekeliruan besar yang dilakukan para perumus dan pengambil kebijakan dalam membentuk RSBI.
Ahli bahasa sekaligus anggota perumus Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Dendy Sugono juga turut menolak kebijakan RSBI. Ia mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus mengkaji ulang kebijakan itu. "Ketika pemerintah terus memaksanaan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pembelajaran di RSBI, berpotensi merugikan siswa," Dendy mengungkap kekhawatirannya.
Ia mengutarakan, jika ingin meningkatkan kemampuan siswa berbahasa Inggris, mereka sebaiknya melalui pengajaran bahasa Inggris reguler itu sendiri. "Penggunaan bahasa asing, termasuk bahasa Inggris, sebagai bahasa pengantar dapat ditoleransi hanya untuk jenjang pendidikan tinggi. Khususnya pada prodi-prodi yang kosentrasinya pada kajian bahasa tersebut. Misalnya, pada prodi bahasa Arab tidak menjadi persoalan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar," tambahnya.
Sementara menurut Sekretaris Dirjen Pendidikan Menengah (Dikmen) Kemendikbud, Mustagfirin, pada hari sama, Selasa (15/5), "RSBI merupakan amanat UU Sisdiknas. Kalaupun terjadi kekurangan, ada kelemahan, kita perbaiki bersama tanpa harus meniadakannya."

RSBI

Praktisi Pendidikan: Sistem RSBI memang Kacau


Kekacauan ini sendiri, menurut Itje Chodidjah, praktisi pendidikan, antara lain bisa dilihat dari dua aspek.

Aspek pertama, dari segi penyusunan Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas tersebut.

Menurut Itje, dari segi penyusunan uu, penerapan RSBI di Indonesia selama ini memang tidak pernah didasarkan pada hasil riset yang benar.

"Hal ini berakibat pada tidak didapatnya gambaran yang jelas dan lengkap mengenai berapa sebenarnya sekolah yang mampu atau pun tidak mampu membuat sekolah RSBI di negeri ini. Ini juga berakibat pada tidak diketahuinya jumlah guru yang sebenarnya mampu melaksanakan konsep RSBI ini," kata Itje, saat menjadi ahli dalam sidang uji materi UU Sisdiknas di Gedung MK, Rabu (2/5).

Itje menilai selama ini penerapan RSBI di Indonesia selama ini tidak berhasil.

"RSBI itu asalnya memang sekolah unggulan yang sudah jadi lalu sekarang dipoles. Kalau ada yang mengklaim itu berhasil saya tidak sependapat. RSBI berhasil karena memang anaknya sejak dulu dipilih dari sekolah berprestasi, jadi sebenarnya sama saja. Kalau barang jadi dipoles menjadi bagus itu jelas bukan berhasil namanya," imbuh Itje.

"Perlu diketahui sekolah yang berhasil adalah sekolah yang berhasil memproses barang mentah menjadi barang jadi, dari kemampuan siswanya rendah menjadi mampu berdiri itu yang menurut saya berhasil," tambah Itje.

Kata internasional

Itje juga menjelaskan aspek lain yang juga membuat penerapan RSBI di Indonesia selama ini kacau, yaitu mengenai pengertian kata internasional yang digunakan dalam penerapan RSBI di Indonesia selama ini.

Menurut Itje, banyak para pengajar dan bahkan mungkin pemerintah sendiri yang menterjemahkan kata Internasional dalam penerapan RSBI tersebut secara ringkas.

"Banyak sekali sekolah yang datang minta bantuan untuk menerjemahkan arti internasional dan terjemahan yang paling mudah bagi mereka adalah mengajarkan Matematika dan IPA dalam dua bahasa, itu tidak bisa," kata Itje.

Lebih lanjut, ia mengatakan pengertian tersebut sangat berbeda dengan pengertian sekolah bertaraf internasional yang dianut di negara lain.

“Untuk Inggris, misalnya, mereka melakukan internasionalisasi pendidikan agar warganya itu mengerti tentang negara lain. Itu tujuannya untuk memberikan akses untuk mempelajari kultur negara lain sehingga mereka bisa cerdas," kata Itje.

Beberapa bulan lalu Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan menggugat penyelenggaraan RSBI ke MK karena mereka menganggap keberadaan RSBI tersebut telah melanggar konstitusi warga negara untuk mendapatkan hak mereka menikmati pendidikan dasar.

Pelanggaran konstitusi terkait penerapan RSBI itu sendiri terjadi akibat biaya bersekolah di RSBI yang mahal.

Menurut koalisi, besaran biaya sekolah tersebut sangat membatasi hak warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan dasar, khususnya anak- anak yang berasal dari golongan keluarga miskin.

Bukan hanya itu saja, Itje juga menilai pelaksanaan RSBI di Indonesia selama ini justru telah membunuh karakter bangsa.

"Banyak anak yang cerdas secara intelektual tapi karena secara finanisal dan geografis tidak punya kesempatan, hilang dan terbunuhlah karakter dia. Sebab RSBI selama ini kesannya diadakan bagi mereka yang mampu secara intelektual, finansial, dan geografis," kata dia.

PEMBANGUNAN MASS RAPID TRANSIT (MRT)



PEMBANGUNAN MASS RAPID TRANSIT (MRT)


Untuk mengatasi kemacetan yang terjadi di DKI Jakarta, pemerintah provinsi telah mengoperasikan bus way. Namun selain bus way, pemerintah provinsi DKI Jakarta berencana mengembangkan proyek MRT (Mass Rapid Transit). Seperti hal proyek bus way, pembangunan MRT ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi kemacetan yang ada di Jakarta dengan mengandalkan kereta api sebagai moda transportasi. Pembangunan lintasan/ jalur kereta api yang akan dilakukan terdiri atas bawah tanah (sub way), permukaan (survace), dan layang (elevated). Pembangunan jenis jalur tersebut disesuaikan dengan kondisi areal yang akan dilewati. Keberadaan MRT diharapkan dapat membuat masyarakat semakin banyak menggunakan transportasi masal ini daripada menggunakan kendaraan pribadi.

Pembangunan proyek MRT tersebut terdiri atas 3 tahap, yaitu: Tahap I –(Lebakbulus-Dukuhatas), Tahap II – (Dukuhatas-Kota), dan Tahap III (Balaraja–Cikarang). Saat ini, proyek pembangunan yang berjalan adalah Tahap I dengan rute Lebakbulus-Dukuhatas yang diperkirakan akan selesai pada tahun 2016. 

Pembangunan proyek MRT (Mass Rapid Transit) rencananya akan dilaksanakan pada 2013 ini dengan total biaya senilai Rp 15,7 triliun. Dimana pembagian persentase pembiayaan sebesar 49 persen ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan 51 persen berasal dari pembiayaan pinjaman Pemerintah DKI Jakarta. Jadi, skema beban biaya pinjaman dari Japan International Cooperation Agency (JICA) terbaru akan menetapkan 49 persen hibah kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan 51 persen dialokasikan sebagai penerusan pinjaman.

Mengenai harga tiket MRT, diperkirakan sekitar  Rp 38.000. Menurut Menteri Perekonomian  Hatta Rajasa, “Harga Rp 38.000 itu adalah harga yang berlaku pada 2017. Saat itu pendapatan domestik bruto kita sudah 7.000 dollar AS. Namun, angka Rp 38.000 tetap angka yang sangat mahal,” kata Hatta.

Beban pengembalian pinjaman kepada JICA tersebut, berpengaruh pada besaran subsidi yang akan diberikan Pemprov DKI pada harga tiket MRT. “Harga tiket masih tergantung bebannya berapa, saya penginnya di bawah Rp 10.000. Soalnya, kalau di Singapura hanya 1 dollar Singapura, kan kira-kira Rp 7.000 sampai Rp 8.000. Kami angkanya kira-kira seperti itu, Rp 10.000-an untuk tahun 2015,” kata Jokowi.

Semoga harapan Bapak Jokowi bisa terealisasi, dengan harga tiket yang murah akan menggugah warga DKI Jakarta untuk menggunakan transportasi umum. Apabila harga tiket terlalu mahal, maka masyrakat akan lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, walaupun transportasi tersebut dilengkapi dengan fasilitas yang nyaman. Jakarta bisa bebas dari macet bila masyarakat DKI Jakarta menggunakan transportasi umum yang sudah disediakan.

Jakarta Bangun Monorel dan MRT, Perusahaan Rental Mobil Tak Gentar



Jakarta Bangun Monorel dan MRT, Perusahaan Rental Mobil Tak Gentar


Jakarta - Rencana pembangunan sarana transportasi masal di Jakarta yaitu monorel dan Mass Rapid Transit (MRT) bakal dinanti publik. Pasalnya penggunaan mobil pribadi bisa berkurang dan kemacetan dapat terurai.

Lalu, bagaimana nasib industri rental kendaraan? Terlebih pelaku industri dengan jumlah armada dan pelanggan yang tinggi.

Menurut Direktur Pengembangan Usaha dan After Sales PT Adi Sarana Armada (ASSA) Jany Candra, perbaikan prasarana Jakarta tidak banyak menggerus keuntungan perusahaan atau industri rental mobil. Pasalnya, sebaran bisnis perseroan tidak cuma di Jakarta.

"Pengaruhnya tidak signifikan. Kita kan ada di seluruh Indonesia. Kontribusi Jakarta hanya 30% dari total bisnis penyewaan," katanya di Jakarta, Senin (13/8/2012).

Jany menambahkan, perusahaan tempat dia bekerja yang kini memiliki lebih dari 10.000 armada tetap akan eksis. Salah satu penyebab, pelanggan Adi Sarana Armada lebih banyak datang dari korporat dan armada digunakan untuk kegiatan produktif.

"Kan mobil operasional. Kantor tetap butuh, bukan untuk komersial," paparnya.

Armada Adi Sarana Armada didominasi oleh mobil merek Toyota 50%, kemudian disusul Daihatsu 20%. Sisanya datang dari merek-merek lain seperti Mitsubishi, Suzuki, dan Honda.

"Kelas minibus atau MPV paling banyak seperti Avanza, Xenia. Lalu Kijang. Kelas yang lebih tinggi lagi SUV seperti (Honda) CRV dan Altis. Kemudian (Toyota) Camry dan Alphard. Kendaraan terakhir memang bisa perusahaan sewa untuk eksekutif seperti manajer," tegas Jany.