Campur Sari

Minggu, 29 Mei 2011

UANG DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN


UANG DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
Uang merupakan alat tukar dan alat pembayaran yang sah. pada masa-masa sebelumnya, pembayaran dilakukan dengan cara barter, yaitu barang ditukar dengan barang secara langsung.
Sejarah Uang
Pada jaman dahulu, jual beli dilakukan dengan sistem barter. 
Barter adalah perdagangan yang dilakukan dengan cara tukar menukar barang, setelah barter orang mulai menggunakan alat pembayaran yang disepakati.
Sebelum menggunakan uang, orang menggunakan barang yang tertentu sebagai alat pembayaran, misalnya kulit kerang, mutiara, batu permata, tembaga, emas, perak ,  manik-manik, dan gigi binatang.
Pada zaman modern uang digunakan sebagai alat pembayaran. dengan menggunakan uang, manusia berusaha memenuhi kebutuhannya.
Jenis-Jenis Uang
Jenis-Jenis uang di bagi menjadi dua yaitu:
Uang kartal
Uang kartal adalah uang yang digunakan sebagai alat pembayaran dalam kehidupan sehari-hari. Uang kartal berupa uang logam dan uang kertas, mata uang negara kita adalah Rupiah, uang pertama yang dibuat oleh Indonesia adalah Oeang Republik Indonesia.
Lembaga yang bertugas dan mengawasi peredaran uang rupiah adalah 
Bank Indonesia, sedangkan perusahaan yang mencetak uang rupiah adalah Perum Peruri (Percetakan Uang Republik Indonesia).
Uang Giral
Uang giral adalah surat berharga yang dapat diuangkan di bank atau dikantor pos. Contoh uang giral, cek, giro pos, wesel dan surat berharga.Uang giral biasanya digunakan untuk transaksi dengan nilai uang yang sangat besar.
Kegunaan uang ialah Uang dapat digunakan sebagai alat pembayaran, alat penukar, alat penentu harga, dan dapat pula di tabung.
Dibawah ini adalah daftar mata uang di dunia yang berlaku saat ini, diantaranya sebagai berikut :
Abbesinia : Dollar                   Afghanistan : Afgani
Afrika Selatan : Rand              Afrika Tengah : Franc
Albania : Lek                              Aliazair : Dinar
Amerika Serikat : Dollar        Angola : Kwanza
Argentina : Peso                        Australia : Dollar
Austria : Shilling                        Bangladesh : Taha
Belanda : Gulden                        Belgia : Franc
Bolivia : Boliviarnus                 Brazil : Cruzeiro
Brunei Darussalam : Dollar    Bulgaria : Lev
Canada : Dollar                            Cekoslovakia : Koruna
Ceylon : Rupee                             Chad : Franc
Chili : Peso                                     Cina : Yuan
Denmark : Krone                         Dominika : Peso
EI Salvador : Kolon                    Emirat Arab : Dirham
2. PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN KAWASAN PERKOTAAN
2.1. Permasalahan Pembangunan di Perkotaan

Secara demografi, Indonesia merupakan negara terbesar jumlah penduduknya ke-4 di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 224 juta jiwa, yang terdiri dari lebih 300 suku bangsa, dan hampir 60%-nya tinggal di pulau Jawa. Tingginya jumlah penduduk tersebut ternyata tidak diikuti dengan pemenuhan atas sarana dan prasarana publik yang cukup, bahkan yang adapun masih banyak yang kurang layak.
Berdasarkan data statistik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta , pada Februari 2009, angka persentase pertambahan jumlah kendaraan di DKI Jakarta, adalah 11% per tahun, sedangkan pertumbuhan panjang jalan kurang dari 1% per tahun, mengingat saat ini jumlah kendaraan bermotor di jakarta mencapai 6,3 juta kendaraan dan jumlah perjalanan kendaraan setiap harinya mencapai 17 juta perjalanan, maka rasio jumlah kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 92% (kendaraan pribadi) banding 8% kendaraan umum. Dengan demikian terdapat kesetidakseimbangan antara jumlah pekerja dengan daya dukung kota (utilitas) Kota DKI Jakarta.
Ketimpangan yang sama juga diciptakan oleh pengaruh ekonomi yang mendorong terjadinya urbanisasi, sebagaimana dijelaskan dalam teori-teori proses spasial ekonomi von Thünen, Alonso, Christaller, dan Lösch dalam buku Urban Dynamics and Growth oleh Capello & Nijkamp pada tahun 2004 . Disebutkan bahwa keterbatasan infrastruktur, prasarana dan sarana mendorong fenomena ekonomi untuk berlangsung melintasi ruang geografis, sehingga fokus alokasi infrastrutur, prasarana dan sarana di seluruh ruang akan berdampak kepada dengan faktor ekonominya (dalam hal ini pembiayaan bagi penyediaan infrastruktur, prasarana dan sarana publik).
Bagi Indonesia, tahun 2008 adalah tahun yang sangat istimewa. Karena untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban modern Indonesia, jumlah penduduk di perkotaan telah menyamai jumlah penduduk di perdesaan. Pada tahun 1970 tercatat bahwa 82,6 % penduduk Indonesia masih tinggal di perdesaan, namun jumlah ini semakin menurun, seiring dengan terciptanya sentralisasi infrastruktur, prasarana dan sarana publik yang tidak berimbang di perkotaan. Sehingga mendorong pengaruh urbanisasi akibat faktor ekonomi sebagaimana dianalisa oleh Arthur O’Sullivan.
Pada awal dan akhirnya, semua masalah akan bermuara kepada masalah dana. Adanya kesenjangan antara kebutuhan investasi sarana, prasarana dan pelayanan jasa dengan masih terbatasnya mekanisme keuangan negara menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak.
2.2. Pembiayaan pembangunan di perkotaan
Pembiayaan pembangunan di perkotaan semakin lama semakin menjadi kebutuhan yang mendesak antara lain karena : pertama, jumlah penduduk akibat pengaruh proses urbanisasi semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun; kedua, kemampuan keuangan pemerintah daerah cenderung masih terbatas dan masih snagat bergantung kepada pembiayaan dari Pemerintah Pusat. Padahal potensi ekonomi dan keuangan di kawasan perkotaan pada dasarnya memadai, sehingga dicetuskan sebagai sebuah daerah yang otonom.
Sehingga pada prinsipnya, terdapat sumber-sumber pembiayaan untuk dikembangkan dalam upaya meningkatkan pendapatan pemerintah Kota, yang kemudian akan digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, prasarana dan sarana sehingga dapat membantu meningkatnya perekonomian dan kesejahteraan masyarakat kota.
Beberapa peluang dan potensi yang dimiliki oleh pemerintah, khususnya berkaitan dengan mobilisasi sumber penerimaan yang sudah dimanfaatkan oleh pemerintah daerah umumnya masih bersifat konvensional (tradisional), seperti misalnya pajak, retribusi dan pinjaman. Namun pada kenyataannya, di luar sumber-sumber yang bersifat konvensional tersebut masih banyak jenis sumber-sumber lainnya yang bersifat non-konvensional (non-tradisional), yang sebenarnya berpotensi tinggi untuk dikembangkan, seperti misalnya betterment levies, development impact fees, excess condemnation, obligasi, concession, dan sebagainya.
Secara umum tipologi instrumen keuangan bagi pembangunan perkotaan diperoleh dari 3 (tiga) sumber, pertama, Pemerintah (public); kedua, Swasta (private); dan ketiga, Gabungan antara pemerintah dan swasta. Sedangkan metode pembiayaan bagi pembangunan kawasan perkotaan terdapat 3 bentuk, yaitu :
1. Pendapatan (pay-as-you-go). Membiayai pengeluaran untuk fasilitas dengan pendapatan daerah saat ini (PAD). Pada prinsipnya, metode ini berupaya membiayai pengeluaran dengan pendapatan yang dihasilkan Pemerintah pada saat ini. Sumber dana yang tersedia berasal dari pajak, retribusi, dan alokasi dana dari Pemerintah Pusat (dana perimbangan). Namun akibat jumlahnya yang terbatas dan peruntukannya yang sangat umum, maka hanya dapat digunakan untuk investasi skala kecil.
Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
• Tidak dikenai bunga, seperti pada pinjaman,
• Lebih fleksibel dalam penggunaan dana,
• Meningkatkan kredibilitas Pemerintah.
Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :
• Jumlah dana lebih kecil dibanding kebutuhan,
• Kontributor bukan yang menikmati hasil investasi,
• Dapat disertai kenaikan pungutan.
2. Pinjaman jangka panjang. Pinjaman jangka panjang merupakan metode pembiayaan yang dana diperoleh dari pinjaman dari Pemerintah Pusat atau lembaga donor, bank komersial atau penerbitan surat hutang (obligasi) yang idealnya berumur sama dengan umur fasilitas. Penerapan metode ini sebagaimana telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 357 Tahun 2003 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 35/KMK.07/2003 tentang Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan, dan Pemantauan Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah, berupaya memanfaatkan sumber dana murah, dari Pemerintah Pusat atau lembaga pemberi bantuan misalnya untuk pembangunan jaringan jalan antar kota, bandara dan lain sebagainya.
Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
• Biaya bunga relatif murah.
• Dapat digunakan untuk proyek berskala besar.
Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :
• Tidak diberikan secara otomatis, perlu mengikuti proses tender, penilaian dst.
• Seringkali mensyaratkan dana pendamping.
• Proyek yang dibiayai tidak selalu menjadi prioritas di tingkat daerah.
3. Penyewaan. Salah satu bentuk pembiayaan yang umum dilakukan adalah penyewaan. Dalam hal ini pemerintah memperoleh fasilitas yang dibutuhkannya dalam melakukan pelayanan publik dengan cara menyewa, atau dengan memegang opsi kepada pemilikan infrastruktur, prasarana dan sarana tersebut.
Misalkan, Pemerintah Kota atau BUMD membutuhkan suatu peralatan yang akan dioperasikan untuk kepentingan masyarakat kota. Maka alat tersebut dapat diperoleh dengan cara sewa, artinya Pemerintah Kota (sebagai lessee) berhak mengoperasikan alat tersebut dengan membayar sewa. Mekanisme penyewaan ini biasanya dilakukan melalui institusi keuangan (bank atau lainnya).
Dalam metode penyewaan, selain model sewa, juga dikenal model sewa beli, yang mana pihak Pemerintah Kota atau BUMD yang membutuhkan suatu peralatan untuk kepentingan masyarakat kota akan memperolehnya dengan cara menyewa beli, artinya Pemkot (sebagai lessee) berhak mengoperasikan alat tersebut dengan membayar sewa. Bedanya dengan sistem sewa adalah pada akhir masa sewa, alat yang dipinjam tersebut akan menjadi milik Pemerintah Kota. Sistem ini juga umumnya menggunakan bantuan jasa lembaga keuangan.
Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
• Pola sewa-menyewa memperkecil risiko jika pengoperasian sarana/prasarana tidak berjalan baik.
• Menyerupai pinjaman jangka panjang.
Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :
• Biaya sewa biasanya lebih tinggi dari bunga pinjaman.
• Penggunaan hanya untuk sarana/prasarana tertentu.
• “Menyewa” memberi kesan lebih rendah dari “memiliki.”
4. Pendayagunaan Aset Kota. Metode pembiayaan ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk upaya kerjasama dimana Pemerintah Kota atau BUMD menyewakan atau melakukan kerjasama usaha atas lahan atau fasilitas yang dikuasainya. Karena itu, sebagai pemilik fasilitas atau aset, khususnya lahan di perkotaan (biasanya HPL), Pemerintah dapat bekerja sama dengan investor untuk mendayagunakan aset itu melalui berbagai bentuk, antara lain :
• Sewa,
• Build Operate Transfer (BOT), memberi hak pengusahaan kepada investor selama masa kontrak, dan pada akhir masa kontrak, fasilitas menjadi milik Pemerintah,
• Build Own Operate (BOO), memberi hak bagi mitra untuk membangun, memiliki dan mengusahakan fasilitas selama periode waktu tertentu,
• Build Own Operate Transfer (BOOT), swasta diminta membiayai fasilitas, lalu memiliki dan mengelolanya, serta akhirnya menyerahkan kepada Pemerintah pada akhir masa kontrak.
Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
• Tidak perlu mengeluarkan dana dalam kerja sama.
• Posisi Pemerintah sebagai pemilik HPL sangat kuat.
Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :
• Karena kurang menguasai aspek bisnis dan hukum, Pemerintah atau BUMD jarang mendapat kompensasi yang wajar,
• Lahan yang sedang dipakai, tidak dapat dimanfaatkan untuk usaha lain,
• Properti BOT dapat dikenai PPN yang tinggi.
5. Pengembangan Wilayah Khusus. Metode pembiayaan ini maksudnya adalah pemerintah kota menetapkan suatu bagian kota sebagai wilayah khusus dan memungut fee dari pemilik bisnis atau properti, dalam bentuk Local Improvement District atau Business Improvement District. Pengembangan wilayah khusus ini dapat dibentuk, jika telah tersusun suatu rencana pengembangan yang secara jelas akan menguntungkan pemilik properti atau pelaku bisnis di wilayah tersebut. Kebutuhan dana dapat dipenuhi dengan urunan dari pemilik properti atau pelaku bisnis di wilayah tersebut. Jika kebutuhan dana cukup besar, maka kebutuhan dapat ditalangi dengan pinjaman, yang akan dilunasi kemudian dengan hasil urunan.
Metode pembiayaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
• Manfaat suatu proyek akan langsung dirasakan dan dibiayai oleh pihak yang bersangkutan,
• Merupakan salah satu cara pelibatan masyarakat.
Selain keuntungan, ada juga kerugiannya, yakni :
• Masyarakat harus terdidik dan paham akan hak-haknya.
• Sulit meng-identifikasi siapa yang menerima manfaat dan berapa besar.
• Butuh aturan main yang rinci, kelengkapan dan kemampuan administrasi yang tinggi.
2.3. Metode Pembiayaan Pembangunan di Kota Surabaya, Indonesia
Manajemen kota Surabaya dikelola oleh pihak Pemerintah Daerah, berdasarkan arahan dan kontrol dari pihak Pemerintah Pusat, dan dalam prosesnya, turut melibatkan masyarakat dan pihak swasta. Namun demikian, pengelolaan kota masih didominasi oleh pihak Pemerintah Daerah. Hal tersebut berarti bahwa birokrasi pemerintahan dalam manajemen kota Surabaya memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan jalannya pembangunan dan pengembangan kota tersebut .
Secara umum, diketahui di masa Sukarno, sejarah mencatat bahwa Jakarta dikembangkan sebagai pusat pemerintahan, sementara Surabaya, karena letaknya jauh dari pusat pemerintahan sehingga kurang terkontrol, tetap saja sebagai pusat perdagangan Indonesia. Di masa Suharto, yang lagi-lagi menerapkan kebijakan integrasi ke pasar dunia, Jakarta lalu dikembangkan sebagai pusat ekonomi dan peran Surabaya dikurangi. (Dieter Evers, H. & Korff. R, 2002) . Dari hal tersebut, kita bisa melihat dengan jelas bahwa peran pemerintah dalam menentukan arah pembangunan dan pengembangan suatu kota begitu dominan, dan hal tersebut juga berlalu dalam pembiayaannya.
Dengan adanya otonomi daerah saat ini, yakni berupa pelimpahan wewenang kepada pemerintahan daerah dengan diikuti perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan, pengelolaan dan penggunaan anggaran sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999. Tetapi mengingat desentralisasi di bidang administrasi juga berarti transfer personal (Pegawai Negeri Sipil) yang penggajiannya menjadi tanggung jawab daerah (Landiyanto, Erlangga A., 2005) .
Formulasi kebijakan dalam mendukung pengelolaan anggaran pendapatan daerah, untuk kota Surabaya khususnya, akan lebih difokuskan pada upaya untuk mobilisasi pendapatan asli daerah dan penerimaan daerah lainnya. Kebijakan pendapatan daerah Kota Surabaya tahun 2006 – 2010 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 9,31 persen dan pertumbuhan tersebut lebih disebabkan oleh adanya pertumbuhan pada komponen PAD dan komponen Dana Perimbangan yang masing-masing diperkirakan tumbuh rata-rata sekitar 15,60 persen dan 5,55 persen (Pemkot Surabaya., 2005) .
Pendapatan kota Surabaya lebih besar diperoleh dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Alokasi Umum. Khususnya terkait dengan Dana Bagi Hasil Pajak, kebijakan-kebijakan yang mendukungnya dalam beberapa kurun waktu terakhir terus disempurnakan oleh pihak pemerintah, yang dalam hal ini berperan sebagai regulator. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 pasal 2A tentang Hasil Penerimaan Pajak Propinsi yang diperuntukkan bagi Daerah Kota/Kabupaten di wilayah Propinsi yang bersangkutan dengan ketentuan Kota Surabaya mendapat bagian PKB dan BBN-KB sebesar 70% dari bagian 30% PKB dan BBN-KB.
Lebih lanjut, terkait sistem pembiayaan pembangunan kota Surabaya, bisa dikatakan hampir sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pemerintahan kota. Hal tersebut sejalan dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang berlaku di Indonesia saat ini. Namun demikian, dalam prakteknya, banyak ditemukan kendala dan masalah pendanaan yang pada akhirnya menjadikan pembangunan dan pengembangan kota menjadi kurang optimal dan berjalan lambat.
Dalam Rencana Pendapatan dan Penerimaan Pembiayaan Daerah Kota Surabaya. 2010 disampaikan bahwa dengan adanya desentralisasi memberi kesempatan kepada Daerah untuk meningkatkan potensi pendapatannya tanpa tergantung pada pusat diwujudkan melalui pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensi daerah. Pendapatan Daerah Kota Surabaya Tahun 2010 direncanakan diperoleh dari sumber-sumber Pendapatan Daerah sebagai berikut:
1. Pendapatan Asli Daerah. Sumber pendapatan ini berasal dari : Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan, dan Lain-Lain PAD Yang Sah. Sumber-sumber pendapatan lain-lain PAD yang sah berasal dari hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, penerimaan jasa giro, penerimaan bunga deposito, penerimaan ganti kerugian daerah, pendapatan denda atas keterlambatan dan penerimaan lain-lain.
2. Dana Perimbangan. Sumber pendapatan ini berasal dari : Bagi Hasil Pajak, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); Pajak Penghasilan (PPh); dan Pendapatan Cukai Hasil Tembakau. Bagi Hasil Bukan Pajak. Dana Alokasi Umum. dan Dana Alokasi Khusus.
3. Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah. Sumber-sumber pendapatan lain-lain pendapatan daerah yang sah adalah Bagi Hasil Propinsi yang berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB), Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT), Sumbangan Pihak Ketiga (SP-3) dan Dana Bagi Hasil Lainnya yang berasal dari Retribusi IMTA, Retribusi TERA, Retribusi Pemakaian dan Pengujian Hasil Hutan kepada Pemerintah Kota/Kabupaten di Jawa Timur. Selain itu, terkait dengan target penerimaan pembiayaan khususnya, penerimaan pembiayaan kota Surabaya tahun 2010 diperkirakan hanya bersumber dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA).


0 komentar:

Posting Komentar